Foto. Ketua Forum Pendidikan Mahasiswa Aceh Tengah, Daffa Taqi Abiyyu.
Lintas Berita Rakyat | Aceh Tengah –Pemilihan umum tahun 2024 merupakan hajatan demokrasi bagi segenap warga negara Indonesia yang penyelenggaraan nya dilakukan dalam 5 tahun sekali untuk memilih calon anggota DPRK, DPRA, DPR-RI dan DPD RI, juga Calon Presiden dan Wakil Presiden.
Tentunya hajatan demokrasi yang jatuh pada 14 Februari 2024 ini, merupakan momentum yang paling dinantikan oleh rakyat yang mana ribuan gagasan ditawarkan dari para kontestan politik untuk menarik simpati dari rakyat.
Dalam upaya menarik simpati dari rakyat tentu berbagai hal harus di persiapkan oleh para kontestan, gagasan yang menarik, gagasan yang berasal dari representatif keresahan rakyat serta yang dapat mengakomodir kepentingan daripada suatu daerah itu sendiri.
Namun ada beberapa hal yang membuat dilema dalam bingkai kehidupan, khususnya dalam menyambut hajatan demokrasi ini. Budaya politik yang terlalu pragmatis menjadi tantangan besar bagi para kontestan, sehingga menghancurkan esensi dari peradaban politik itu sendiri, diantaranya gencarnya dugaan money politik.
Menyikapi hal ini, Ketua Forum Pendidikan Mahasiswa Aceh Tengah, Daffa Taqi Abiyyu, Kamis (11/01/24), kepada media menyampaikan pandangan nya terkait fenomena politik di wilayah tengah Provinsi Aceh tersebut.
Daffa Taqi Abiyyu menilai, momen saat ini sebagai neraka bagi konstestan politik di Aceh Tengah dan Bener Meriah.
Bahasa bahwa “saat ini rakyat sudah cerdas“ juga masih menjadi tanda tanya bagi kita. Fakta di lapangan saat ini masih banyak sebagian besar masyarakat kita memilih kontestan politik hanya karena menerima sembako dan uang saku, agar bersedia memilih kontestan tersebut, ujarnya.
“Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah cukup familiar dengan pola politik yang seperti ini, bahkan sering melontarkan bahasa “Ike ara sen kite pilih“. Bagi kami selaku pemuda hal ini sebenarnya cukup berbahaya bagi kehidupan demokrasi bahkan keberlangsungan pembangunan yang ada di daerah kita,” ungkap Daffa.
Sejatinya nanti para kontestan politik yang terpilih untuk duduk di kursi hangat perwakilan rakyat, bukan lagi fokus untuk membangun daerah atau wilayah Dapil tersebut, akan tetapi sibuk mengembalikan cos politik yang begitu besar pada saat kontestasi.
“Budaya money politik seperti ini memang ada di berbagai penjuru Indonesia dan sejatinya sulit dihilangkan, akan tetapi kalau kita sama sekali tidak memulai untuk menghilangkan ini, akan menjadi penyakit bersama karena sejauh ini daerah kita lah yang dikenal memiliki cos politik yang mahal sehingga disebut neraka bagi para kontestan”. Ujar Daffa.
Seharusnya masih banyak pola yang bisa dilakukan, contohnya membangun komitmen bersama para kontestan politik. Karena yang harus di akomodir itu adalah kepentingan dan kebutuhan bersama, bukan kepentingan perseorangan. Jika budaya seperti ini sudah bisa kita minimalisir, maka tak lama lagi kita bisa menatap pembangunan yang baik di daerah kita. Terang Ketua FOPMAT menilik politik yang sedang berlangsung saat ini. (Roni)